kawan-kawan

Senin, 22 September 2008

Strategi Creative Destruction

Buku yang berkisah tentang perjalanan sebuah BUMN kontruksi dari yang semula paling kere lalu menjadi paling besar. Sebuah pengakuan tapi mungkin juga adalah sebuah pembelaan dari sang Dirut.

oleh Rusdi Mathari

MULANYA adalah Joseph Schumpeter. Lewat buku Capitalism, Socialism and Democracy yang ditulis pada 1942, ia mengenalkan tentang apa yang disebut sebagai konsep Creative Destruction. Hingga beberapa tahun setelah buku itu terbit, konsep Schumpeter itu jarang disebut-sebut orang karena tak tercantum dalam kitab-kitab klasik tentang ekonomi. Konsep itu kalah bersaing dengan teori Perfect Competition dan model ekonomi Supply and Demand, kendati dua teori itu tak punya relevansi dengan dunia nyata. Setidaknya begitulah pendapat Schumpeter.

Dalam perkembangannya Creative Destruction makin dikenal orang dan kemudian semakin popular. Awalnya terma yang dipinjam Schumpeter dari sosiolog Jerman Werner Sombart itu, menggambarkan proses transformasi yang berlangsung bersamaan dengan munculnya satu inovasi radikal. Creative Destruction belakangan dipahami sebagai konsep ekonomi yang sangat powerful karena dapat dengan tepat menjelaskan berbagai dinamika perubahan industrial: seperti transisi dari pasar yang kompetitif menjadi pasar yang monopolistik, lalu menjadi pasar kompetitif kembali, Kelak konsep Creative Destruction ini pulalah yang menjadi inspirasi dari endogenous growth theory dan evolutionary economics.

Perkembangan terpenting bagi konsep ini tercatat terjadi pada 1992, ketika ide Creative Destruction milik Schumpeter memperoleh penjelasan formal melalui model matematika yang dijelaskan Philipe Aghion dan Peter Howitt dalam makalah A Model of Growth through Creative Destruction yang terbit di Econometrica. Sejak itu Creative Destruction tak hanya dipergunakan untuk menjelaskan bertahannya kapitalisme, namun konsep ini pun dipakai untuk menjelaskan berbagai fenomena lain. Pada 1999, lewat bukunya The Creative Destruction of Manhattan, 1900-1940, Max Page mengunakan konsep Creative Destruction Schumpeter untuk menjelaskan kelindan kondisi sejarah, ekonomi, sosial maupun personal yang akhirnya menelurkan perubahan penting pada wajah kota pencakar langit Manhattan, New York.

Kini terma Creative Destruction bahkan bisa dipakai untuk menjelaskan sukses ala Tony Alleyne, seorang penggemar film science-fiction yang sukses menjual apartemen tak laku miliknya. Ia bisa dijuga digunakan untuk menjelaskan kebudayaan global seperti yang dilakukan Tyler Cowen.

Kepopuleran Creative Destruction ini pula yang kemungkinan besar menyihir M. Saiful Imam, Direktur Utama PT Adhi Karya (Persero) Tbk, untuk menggunakan frasa yang sama bagi buku yang ditulisnya. Buku yang menjelaskan perubahan internal PT Adhi Karya, dari sebuah perusahaan konstruksi menuju perusahaan bisnis investasi itu diberinya judul Re:BORN Strategi Creative Construction ADHI menuju “Beyond Construction”.

Sebagai bos Adhi Karya, M. Saiful Imam, beberapa tahun terakhir memang sedang membawa Adhi Karya, menjalani perubahan terpentingnya. Perusahaan ini sebelumnya tak punya kompetensi di bidang infrastuktur dan kurang berpengalaman menghitung biaya proyek hingga selalu merugi. Perubahan drastis atas kinerjanya sempat dicapai Adhi Karya pada era 1990-an namun kembali terpuruk oleh krismon 1997. Waktu itu Adhi Karya bahkan terjerat utang dalam dolar yang cukup besar menyusul kebangkrutan Peregrine, yang bertindak sebagai penjamin utangnya. Karena dililita persoalan keuangan, Adhi Karya memutuskan masuk ke BPPN dengan keinginan sendiri. Sebuah keputusan yang genial, karena dua tahun setelah itu BUMN menjadi perusahaan kontraktor terbesar di Indonesia pada 1999.

Kondisi sebagai perusahaan konstruksi terbaik dan terbesar di Indonesia inilah yang diwarisi oleh Saiful alumnus Institut Teknologi Surabaya yang meniti karier di PT Adhi Karya sebagai resident engineer. Dalam buku ini, Saiful berulangkali menyebut kemampuan Adhi Karya memupuk aset sangat terbatas. Jika dibandingkan dengan BUMN lain di bidang konstruksi seperti Wijaya Karya, Hutama Karya dan Waskita Karya, Adhi Karya menurut Saiful memang yang terbesar. Tapi, jika dibandingkan BUMN sekelas Pertamina dan Telkom, yang juga sama-sama berusia di 40-50 tahun, aset Adhi Karya tertinggal jauh. Bahkan, jika dibandingkan dengan aset perusahaan properti Agung Podomoro yang baru berusia 15 tahun atau Medco Group yang berusia 27 tahun, aset PT Adhi Karya tak mampu bersaing

Mengutip Noel Tichy, penulis buku Every Business is a Growth Business, Saiful setuju bahwa pertumbuhan adalah oksigen bagi bisnis. Setiap bisnis harus selalu punya growth mindset atau growth mentality, sikap mental untuk selalu fokus pada profitable growth. Setua apapun bisnis yang dimasuki perusahaan harus selalu mencari peluang pertumbuhan di luar definisi tradisional pasar dan industri mereka. Persoalannya satu: diferensiasi di antara pemain di industri ini praktis tidak ada. Para pemain baru pun bisa dengan mudah masuk, alhasil posisi tawar konsumen meningkat sehingga yang terjadi adalah perang harga. Ketika harga sudah menjadi panglima, maka selisih keuntungan pun tergerus. Itu sebabnya, ketika semua orang mengatakan everything is ok Saiful justru melihat sebagai bahaya terhadap Adhi Karya.

Re:BORN Strategi Creative Destruction ADHI menuju “Beyond Contruction” pada akhirnya berupaya meyakinkan pembaca, bahwa upaya Creative Destruction Adhi Karya adalah niscaya terutama jika BUMN ini ingin terus tumbuh sebagai entitas bisnis yang sukses. Sejarah akan membuktikan, apakah transformasi ADHI Beyond Construction benar-benar sebuah Creative Destruction atau hanya sekedar pledoi seorang Saiful.

Tidak ada komentar: